Beranda | Artikel
Asas Dakwah dan Menghadapi Perselisihan (Bag. 3): Mengetahui Hakikat Manusia dan Memaafkan
15 jam lalu

Dalam medan dakwah, terjadinya perselisihan tidak mungkin terhindarkan. Sebab kebenaran tidak mungkin bercampur dengan kebatilan. Hal ini sebagaimana Nabi ﷺ terangkan dalam hadisnya,

إن الحلال بين وإن الحرام بين وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس

“Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan berkara haram itu jelas. Serta di antara keduanya adalah perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang.” (Muttafaq ‘alaih)

Oleh karena itu, menjadi sunnatullah bagi seorang yang menerangkan kebenaran bahwa dia pasti akan mendapatkan tantangan. Allah ﷻ berfirman,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ”Kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabût: 2-3)

Bahkan perselisihan ini tidak hanya terjadi antara pendakwah dan musuh dakwah, tetapi juga dapat terjadi di kalangan sesama penebar kebaikan. Faktor jiwa manusia dan hatinya akan sangat berpengaruh dalam perselisihan di antara umat. Dalam perkara ini, Syekh Saad Asy-Syal hafizhahullah memberikan sebuah judul bab yakni “العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل” (memaafkan, bertoleransi, dan tidak melupakan jasa atau keutamaan seseorang). Hal ini beliau tekankan kepada orang yang saling menyayangi dan mencintai, terutama pada kelompok manusia yang berkumpul atau berkolaborasi dalam ketaatan. Syekh Saad hafizhahullah menerangkan,

العفو والتسامح وعدم نسيان الفضل وخاصة إذا وقع الاختلاف بين من كانوا متألفين متحابين، وقد كان بينهم الجميل والمعروف، والاجتماع على طاعة الله ورضاه

“Sikap memaafkan, toleransi, dan tidak melupakan jasa ditekankan apabila terjadi perselisihan di antara orang-orang yang saling menyayangi dan mencintai. Sungguh terdapat di antara mereka kebaikan dalam berkumpul di atas ketaatan kepada Allah ﷻ dan keridaan-Nya.” (Adab Al-Ikhtilaf Bainas Shahabah, hal. 127)

Sikap memaafkan adalah pondasi dalam hubungan sesama manusia

Allah ﷻ berfirman,

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَـٰهِلِينَ

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Al-‘Allamah As-Sa’di rahimahullah menerangkan dalam Taisir Karimir Rahman (2: 189) bahwa ayat ini telah menghimpun akhlak yang baik dalam interaksi sesama manusia. Selayaknya dalam menghadapi manusia, seseorang itu tidaklah perlu membebani orang lain dengan indikator yang berat. Karena manusia hakikatnya adalah makhluk yang tak sempurna, zalim, dan pasti mengecewakan. Oleh karena itu, seseorang didorong untuk menghiasi dirinya dengan sikap pemaaf agar kekecewaan itu tidak menumpuk dalam dirinya dan meledak dalam bentuk amarah di kemudian hari.

Watak manusia adalah zalim dan bodoh

Allah ﷻ berfirman di akhir surah Al-Ahzab,

اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ

“Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)

Inilah sifat yang terinstal dalam jiwa seorang manusia. Mental yang cenderung kepada kezaliman, yakni tidak menempatkan sesuatu pada haknya, serta bodoh, kecuali yang Allah ﷻ rahmati. Sifat ini tidak hanya tersemat pada orang tak berpendidikan atau kelompok kecil, tetapi ia tertanam menjadi potensi setiap manusia. Manusia yang cerdas dan berpendidikan tetap berpotensi zalim dan juga memiliki kebodohan. Karena manusia tak akan mampu menguasai semua pengetahuan dan hikmah yang ada, tetapi seringkali berlagak mengetahui segalanya. Sehingga akan menghasilkan tindakan bodoh dan juga perbuatan menzalimi orang lain.

Dengan sifat yang sudah tertanam pada diri seorang manusia, masihkah kita berharap pada manusia?

Agar tidak kecewa tatkala berselisih

Pernahkah anda kedatangan kucing liar di rumah anda? Kemudian anda rawat, beri makan, dan juga tempat tinggal. Namun, setelah dipelihara, beberapa hari kemudian kucing itu hilang dan ternyata sudah di komplek perumahan lain karena sudah mendapatkan pasangan. Kecewakah anda? Mungkin anda kecewa, tetapi rasa kecewa itu hilang dalam sekejap.

Apa penyebabnya? Karena anda mengetahui hakikat hewan itu adalah makhluk yang tidak berakal. Anda tak mengharapkan kucing itu dapat membalas kebaikan anda sepenuhnya.

Sehingga agar dapat berhenti kecewa dari manusia yang menyelisihi anda atau secara umum dalam interaksi sehari-hari, kenalilah hakikat manusia yang zalim dan bodoh tersebut. Dengan demikian, segala perselisihan yang ada tidak akan menyisakan luka yang berlarut-larut. Karena luka yang berlarut akan menghasilkan amarah, sementara amarah yang meledak tak terkendali pasti menghasilkan penyesalan. Sebagaimana para salaf berkata,

الغضب أوله جنون وآخره ندم

“Kemarahan itu awalnya adalah kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan.”

Kemarahan yang menghilangkan akal bisa menjadi induk dari berbagai macam keburukan. Ungkapan “al-khamru ummul khobaa’its” (khamr sebagai induk keburukan) adalah karena khamr akan menghilangkan akal yang dapat menahan diri dari berbagai kemaksiatan dan kezaliman. Maka, amarah yang menghilangkan akal akan sama bahayanya dengan orang yang mabuk-mabukan. Terlebih lagi terdapat berbagai pemicu yang dapat diobjektifikasi sebagai induk permasalahannya. Betapa banyak kasus penyerangan bahkan pembunuhan hanya karena berselisih pendapat dan dendam lama yang bertumpuk.

Oleh karena itu, Allah ﷻ meminta kita untuk menghiasi diri dengan sifat pemaaf. Karena sifat pemaaf adalah obat kemarahan dan pencegah timbulnya dendam. Allah ﷻ berfirman,

وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

“Dan apabila mereka marah, maka mereka memberi maaf.” (QS. Asy-Syura: 37)

Inilah sifat orang yang beriman, terlebih para salafus shalih, mereka menghadapi perselisihan bahkan penghianatan yang lebih menyakitkan. Bahkan di antara mereka dikhianati oleh saudara dan kerabat sendiri. Namun, keadaan semacam ini tidak membuat mereka menabung dendam, tetapi segera dan senantiasa memberi maaf. Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menerangkan bahwa pemaaf telah menjadi sifat yang melekat pada sahabat, termasuk Rasulullah ﷺ. Beliau ﷺ tidak pernah marah untuk urusan pribadinya, tetapi beliau marah ketika hak Allah ﷻ yang dilanggar.

Namun, wajar juga jika seorang tidak suka diselisihi apalagi dalam rangka mempermalukan. Atau penyelisihan itu disertai dengan sikap merendahkan. Para sahabat pun demikian, tetapi mereka berusaha untuk memaafkannya.

Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan dalam sanad panjang hingga kepada Ibrahim,

كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَكْرَهُونَ أَنْ يَسْتَذِلُّوا، وكانوا إذا قدروا عفوا

“Orang-orang beriman tidak suka dipermalukan; tetapi jika mampu, mereka memaafkan.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Asy-Syura: 37)

Jangan ikut-ikutan bodoh

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat QS. Al-A’raf: 199 yang menjadi pokok pembahasan ini,

وَدَخَلَ فِي قَوْلِهِ: (وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) صِلَةُ الْقَاطِعِينَ، وَالْعَفْوُ عَنِ الْمُذْنِبِينَ، وَالرِّفْقُ بِالْمُؤْمِنِينَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُطِيعِينَ

“Termasuk di dalam makna, “Memerintahlah kepada kebaikan” adalah menyambung silaturahmi dengan yang telah memutus silaturahmi, memaafkan orang yang berdosa, bersikap lemah lembut kepada orang yang beriman, dan ciri-ciri orang yang taat lainnya.

وَفِي قَوْلِهِ (وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ) الْحَضُّ عَلَى التَّعَلُّقِ بِالْعِلْمِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنْ أَهْلِ الظُّلْمِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُنَازَعَةِ السُّفَهَاءِ، وَمُسَاوَاةِ الْجَهَلَةِ الْأَغْبِيَاءِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ وَالْأَفْعَالِ الرَّشِيدَةِ.

Dan dalam firman-Nya, “Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil” terdapat anjuran untuk berpegang teguh kepada ilmu, berpaling dari orang-orang zalim, menjauhi diri dari berselisih dengan orang-orang bodoh dan menyerupai mereka, dan berbagai akhlak terpuji serta perbuatan yang bijak lainnya.”

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa kita jangan jadi ikut-ikutan bodoh karena menyikapi orang yang menyelisihi dan mempermalukan kita dengan cara tidak adil. Ketika berselisih, hendaknya kita fokus pada substansi yang diperselisihkan. Jangan salah fokus kepada pribadi orang yang menyelisihi. Lebih utama lagi jika dalam berdakwah, kemudian ada yang membantah atau merecoki, maka tetaplah berdakwah (وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ) dan berpalinglah dari mereka yang membuat keributan.

Ketahuilah, jika asas ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan, maka sedikitlah perselisihan itu. Karena ada banyak perselisihan yang memang tidak substantif. Terlebih lagi di media sosial, mungkin terjadi saling balas status faidah ilmu di antara ahli ilmu, tetapi kolom komentarnya lebih panas lagi diisi perselisihan antar penuntut ilmu atau bahkan orang awam yang tidak mengerti tradisi keilmuan. Seorang penuntut ilmu hendaknya bersikap sebagaimana yang diperintahkan Allah ﷻ dan Rasul-Nya. Seorang penuntut ilmu jangan ikut-ikutan gaya orang awam yang pada akhirnya akan membuat keadaan kian keruh dan keributan kian panas.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

  • أدب الاختلاف بين الصحابة وأثره على الواقع الإسلامي المعاصر karya Syekh Saad bin Sayyid bin Quthb hafizhahullah.
  • Al-Bahits Al-Hadits dari sunnah.one
  • Tafsir Al-Qurthubi via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.com
  • Tafsir Ibnu Katsir via Al-Bahits Al-Qur’ani oleh nuqayah.com
  • الأحاديث الأربعين النووية مع ما زاد عليها ابن رجب وعليها الشرح الموجز المفيد karya Syekh Abdullah bin Shalih Al-Muhsin hafizhahullah
  • Taisir Karimir Rahman karya Syekh As-Sa’di rahimahullah.

Artikel asli: https://muslim.or.id/106465-asas-dakwah-dan-menghadapi-perselisihan-bag-3.html